Al-Qur’an: Lafal dan Makna dari Allah atau Nabi?

Ada yang menarik dari diskusi antara Prof. Mun’im Sirri dan Ustadz Muhammad Nuruddin di PTIQ Jakarta (Selasa, 25/06/2024) dengan tajuk “Al-Qur’an: Kalam Allah wa Kalam Rasulullah“.

Mun’im cenderung mengatakan –berdasar argumen yang diyakini– bahwa Al-Qur’an kalam Allah; sedangkan redaksinya adalah dari Nabi Muhammad. Sedangkan Ustadz Nuruddin menjelaskan bahwa Al-Qur’an, lafal dan maknanya adalah dari Allah.

Dalam diskusi ini, Ustadz Nuruddin menyampaikan kembali bantahan atas Prof. Mun’im Sirri yang pernah menulis, “Al-Qur’an itu kalam Allah dan perkataan Nabi!” Lebih lanjut dia mengatakan, “Dalam hal bahwa al-Qur’an itu terjaga dari kesalahan, maka ia sepenuhnya kalam Allah. Namun, dalam kaitannya sebagai wahyu yang disampaikan ke dalam hati Nabi dan diungkapkan dengan lisannya, maka ia sepenuhnya perkataan Nabi sendiri.”

Kemudian bantahan atas pernyataan Mun’im itu –oleh Ustadz Nuruddin– diungkap kembali sebagai berikut “Saya berkata kepada Alif, tolong sampaikan kepada Ustadz Mun’im, ‘Anda sesat.’ Alif kemudian menyampaikan perkataan itu dengan redaksi yang sama. APakah kenyataan bahwa Alif menyampaikan secara otomatis menjadikan kalam itu miliknya, dan menisbatkan kepadanya? Ya jelas enggak dong. Buktinya kalau Mun’im mau protes, pasti dia mengarahkan omongannya ke saya. Bukan ke Alif! Nabi hanya menyampaikan kalam Allah. Dan penyampai dari suatu kalam tidak otomatis menjadi pemilik dari kalam itu sendiri.”

Lantas, bagaimana dalam pandangan khazanah keilmuan Al-Qur’an terkait masalah ini? Memang dalam sejarah keilmuan Islam, di antara pertanyaan yang sering muncul hingga kini dalam dunia akademis adalah mengenai sumber asli dari Al-Qur’an: apakah Al-Qur’an sepenuhnya wahyu dari Allah, ataukah Nabi Muhammad SAW memiliki peran dalam penyusunan lafal dan maknanya? Pertanyaan ini telah dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu dan tetap relevan hingga kini.

Pandangan Ulama Tentang Sumber Al-Qur’an

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Al-Itqan” menyebutkan tiga pendapat mengenai asal usul Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW:

Pendapat pertama: Lafal dan Makna dari Allah: Pendapat ini, yang dianggap paling kuat, menyatakan bahwa Al-Qur’an dalam bentuk lafal dan maknanya diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril. Jibril menghafal Al-Qur’an dari Lauhul Mahfuz dan menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Beberapa ulama bahkan menyebutkan bahwa setiap huruf Al-Qur’an di Lauhul Mahfuz memiliki makna yang hanya diketahui oleh Allah.

Pendapat kedua: Makna dari Allah, Lafal dari Nabi. Pendapat ini menyatakan bahwa Jibril hanya menurunkan makna Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, yang kemudian mengekspresikan makna tersebut dengan bahasa Arab. Pendukung pendapat ini mengutip ayat: “Ruhul Amin (Jibril) menurunkannya ke dalam hatimu” (Asy-Syu’ara: 193), yang mereka tafsirkan sebagai Jibril menanamkan makna di hati Nabi.

Pendapat ketiga: Makna dari Allah, Lafal dari Jibril dan Nabi: Pendapat ini menyebutkan bahwa Jibril menyampaikan makna Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, yang kemudian mengungkapkannya dengan bahasa Arab. Menurut pendapat ini, para malaikat di langit juga membacanya dalam bahasa Arab sebelum disampaikan kepada Nabi.

Pendapat Syadz dan tidak populer terkait Al-Qur’an diturunkan hanya maknanya saja yang disampaikan kepada Nabi, sedangkan lafalnya berasal dari nabi, pernah juga diyakini oleh Sayyid Ahmad Khan. Ini sebagaimana diceritakan Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul “Zu’amaa al-Ishlaah fii ‘Ashri al-Hadiits” (131).

Tulis beliau:

وَتَطَرَّفَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّ الْوَحْيَ كَانَ بِالْمَعْنَى دُونَ اللَّفْظِ، ذَاهِبًا فِي ذَلِكَ مَذْهَبَ بَعْضِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ الْمُتَقَدِّمِينَ الَّذِينَ حَكَى قَوْلَهُمُ السُّيُوطِيُّ فِي الإِتْقَانِ، إِذْ قَالَ: (وَذَكَرَ بَعْضُهُمْ أَنَّ جِبْرِيلَ إِنَّمَا نَزَلَ بِالْمَعَانِي خَاصَّةً، وَأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِمَ تِلْكَ الْمَعَانِي وَعَبَّرَ عَنْهَا بِلُغَةِ الْعَرَبِ)، وَتَمَسَّكَ قَائِلُ هَذَا بِظَاهِرِ قَوْلِهِ تَعَالَى: {نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ عَلَى قَلْبِكَ} إِذْ ذَاكَ هَاجَ عَلَيْهِ كَثِيرٌ مِنْ رِجَالِ الدِّينِ، وَهَيَّجُوا عَلَيْهِ الْعَامَّةَ، وَتَعَرَّضَتْ حَيَاتُهُ لِلْخَطَرِ، وَأَرَادَ أَحَدُهُمْ أَنْ يَطْعُنَهُ مَرَّةً بِخَنْجَرٍ فَنَجَا مِنْهُ بِأَعْجُوبَةٍ، وَمَعَ هَذَا ظَلَّ ثَابِتًا جَرِيئًا فِي دَعْوَتِهِ كَمَا هُوَ لَمْ يَتَزَحْزَحْ، وَلَمْ يُدَاهِنْ وَلَمْ يُمَارِ. بَلْ رُبَّمَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَقْوَى وَأَصْرَحَ فِيمَا يَقُولُ وَمَا يَنْشُرُ، لَا يَعْبَأُ بِنَقْدٍ وَلَا تَهْدِيدٍ.

“Dan ia lebih ekstrem dari itu, ia berkata: “Wahyu itu hanya dalam bentuk makna tanpa lafal.” Ia mengikuti pandangan sebagian ulama Muslim terdahulu yang pendapat mereka disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab “Al-Itqan,” di mana ia berkata: “Dan sebagian dari mereka mengatakan bahwa Jibril hanya turun dengan membawa makna saja, dan bahwa Nabi SAW memahami makna-makna tersebut dan mengungkapkannya dengan bahasa Arab.” Pendapat ini berpegang pada lahiriah firman Allah Ta’ala: {Nazzala bihi al-ruhu al-amin ‘ala qalbik} (Telah turun dengan Al-Qur’an itu Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu). Pada saat itu, banyak tokoh agama yang marah kepadanya, dan mereka menghasut masyarakat umum untuk melawan dia, bahkan hidupnya terancam bahaya, salah seorang dari mereka mencoba menikamnya dengan pisau, namun ia selamat dengan cara yang mencengangkan. Meski begitu, ia tetap teguh dan berani dalam dakwahnya, tidak mundur, tidak berkompromi, dan tidak ragu. Bahkan mungkin ia menjadi lebih kuat dan lebih tegas dalam perkataannya dan apa yang ia sebarkan, tidak peduli terhadap kritik atau ancaman.”

Pendapat yang nyeleneh seperti ini yang justru dipilih dan dikuatkan oleh Prof. Mun’im Sirri.

Pendapat yang Paling Kuat

Syekh Al-Ghumari dalam kitab “Al-Ihsaan fii Ta’qiib Al-Itqan” (2016: 33) menegaskan bahwa pendapat pertama adalah yang paling kuat dan telah menjadi konsensus di kalangan ulama. Mereka mendefinisikan Al-Qur’an sebagai lafal yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang menantang manusia untuk membuat satu surah sepertinya, dan yang pembacaannya merupakan ibadah.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan jika seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah” (QS. At-Taubah [9]: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang terdiri dari kata-kata, bukan hanya makna yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Menolak Pendapat Kedua dan Ketiga

Pendapat kedua dan ketiga dianggap lemah dan tidak dapat diterima. Sebagai contoh, dalam surah Asy-Syu’ara ayat 193-194: “Ruhul Amin (Jibril) menurunkannya ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” Ayat ini menjelaskan bahwa Jibril menanamkan Al-Qur’an dalam hati Nabi Muhammad SAW dengan memastikan bahwa Nabi menghafal dan memahami wahyu tersebut, dan bahwa hal itu ditetapkan dalam hati Nabi sehingga tidak dilupakan. Ini menunjukkan bahwa lafal Al-Qur’an juga berasal dari Allah.

Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur’an dalam bahasa Arab, agar kamu mengerti” (QS. Yusuf [12]: 2), yang secara tegas menyatakan bahwa lafal Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab.

Senada dengan Syekh Al-Ghumari, Ibnu ‘Aqilah al-Makki dalam kitab “az-Ziyaadah wa al-Ihsaan fii ‘Uluum al-Qur’aan” (I, 2006: 162) menjelaskan bahwa turunnya jibril membawa wahyu itu dengan lafal sekaligus maknanya. Inilah pendapat yang benar. Lebih gamblang dijelaskan prosesnya pada halama 110 dan 111, terang beliau:

وَالتَّحْقِيقُ فِي ذَلِكَ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنْ يَكُونَ تَلَقِّي جِبْرِيلَ الْوَحْيَ عَنِ اللَّهِ بِنَوْعٍ مِنَ التَّجَلِّي، وَهُوَ أَنْ يَتَجَلَّى الْحَقُّ لَهُ بِصِفَةِ الْكَلَامِ، فَيَسْمَعَ مَا أَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ صَوْتٍ وَلَا جِهَةٍ وَلَا حَرْفٍ فِي أَيْسَرِ وَقْتٍ، جَمِيعَ الْقُرْآنِ الْمُنَزَّلِ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ لَفْظًا وَمَعْنًى ثُمَّ هُوَ يُلْقِيهِ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ بِتِلْكَ الْكَيْفِيَّةِ، وَالنَّبِيُّ ﷺ يُلْقِيهِ عَلَى الصَّحَابَةِ بِمِثْلِ مَا أُوحِيَ إِلَيْهِ، بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ.

“Dan yang sebenarnya dalam hal ini – Allah lebih mengetahui – adalah bahwa Jibril menerima wahyu dari Allah dengan cara tertentu dari Tajalli (penjelmaan,penampakan), yaitu Allah menampakkan diri kepada Jibril dalam bentuk kalam (perkataan), sehingga Jibril mendengar apa yang Allah wahyukan kepadanya tanpa suara, tanpa arah, dan tanpa huruf dalam waktu yang sangat singkat, seluruh Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW baik dalam lafal maupun maknanya. Kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi SAW dengan cara tersebut, dan Nabi SAW menyampaikannya kepada para sahabat dengan lafal dan makna yang sama seperti yang diwahyukan kepadanya.”

Dengan demikian, wahyu Al-Qur’an yang disampaikan Jibril hingga kepada Nabi adalah dua-duanya: lafal sekaligus makna.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an, baik lafal maupun maknanya, adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril. Pandangan ini didukung oleh mayoritas ulama dan dikuatkan oleh banyak ayat Al-Qur’an. Pendapat bahwa lafal Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an maupun dalam tradisi keilmuan Islam.

Oleh karena itu, umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang autentik, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an bukanlah hasil pemikiran atau kreasi Nabi Muhammad SAW, melainkan wahyu ilahi yang sempurna dalam lafal dan makna.*/Mahmud Budi Setiawan

Penulis: No Perfect

MENGAPA KEJAHATAN selalu bisa kompak BERSATU? Karena, KEBENARAN tidak pernah membutuhkan SEKUTU!”

Tinggalkan komentar