Pers Arab di Indonesia 1917-1943: Jejak Sejarah yang Terlupakan

Di awal Oktober 1917, di sebuah rumah sederhana di Jawa, Muhammad Hussein Baraja duduk di meja kerjanya, memandangi tumpukan kertas yang siap diterbitkan. Cahaya matahari senja menerangi ruangan dengan lembut, menandai awal dari sebuah babak baru dalam sejarah pers Arab di Indonesia. Inilah saat ketika Al-Iqbal, surat kabar pertama kaum Hadrami, terbit dan memulai perjalanan panjangnya.

Munculnya Al-Iqbal dan Gelombang Pertama Pers Arab

Al-Iqbal tidak hanya menjadi surat kabar pertama bagi komunitas Arab di Jawa, tetapi juga menjadi simbol perjuangan mereka untuk menyuarakan pemikiran dan aspirasi. Majalah ini dipimpin oleh Muhammad Hussein Baraja yang menyajikan berita-berita tentang politik, sosial, dan budaya, mencerminkan kehidupan masyarakat Arab di tanah rantau.

Tidak lama setelah itu, pada 11 Juni 1920, di Surabaya, Hassan bin Ali Al-Tsiqoh meluncurkan Al-Irsyad. Surat kabar mingguan ini diterbitkan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dan menjadi corong suara kaum reformis. Dengan tajam dan penuh visi, Hassan bin Ali Al-Tsiqoh menjadikan Al-Irsyad sebagai platform untuk menyuarakan perubahan dan kemajuan, menjadikannya bacaan wajib bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan terbaru.

Keberagaman Media dan Tantangannya

Di Pekalongan, kota yang terkenal dengan batiknya, Oemar Suleiman Naji menerbitkan Al-Shifa pada tahun 1920. Majalah bulanan ini menawarkan artikel-artikel mendalam tentang kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, termasuk politik perjuangan di tanah air, menambah warna dalam dunia pers Arab di Indonesia.

Di Batavia, Muhammad al-Hashemi al-Tunisi memulai petualangannya dengan menerbitkan Borobudur pada 9 November 1920. Awalnya, Borobudur memiliki hubungan erat dengan kaum Al-Irsyad, namun seiring waktu, pandangan mereka mulai berbeda, menambah dinamika dalam perjalanan pers Arab.

Kontribusi Ulama dan Perjuangan Finansial

Syaikh Ahmad Surkati, seorang ulama besar yang dikenal karena pemikiran modernisnya, juga memanfaatkan media untuk dakwahnya. Pada September 1923, ia menerbitkan majalah Azzachirah Al-Islamiyyah di Batavia. Surkati, pendiri organisasi Al-Irsyad, adalah tokoh yang menggabungkan tradisi Islam dengan pemikiran modern, mendorong pendidikan, dan reformasi sosial. Azzachirah Al-Islamiyyah menjadi platform penting bagi penyebaran ide-ide modernisnya, yang menekankan pentingnya pendidikan bagi semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, serta perlunya pembaruan dalam praktik keagamaan. Nilai-nilai kesetaraan umat Islam tanpa memandang nasab sebagai tolok ukur kemuliaan manusia menjadi bagian terpenting dari isi penyebaran majalah ini. Penekanan akan kemuliaan itu tercermin dari beberapa syair yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Surkati, antaranya adalah:

“Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula karena tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab, dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal.”

“Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.”

Pemikiran Surkati yang revolusioner mencerminkan keyakinannya bahwa Islam harus selaras dengan kemajuan zaman. Ia sering menulis tentang pentingnya ijtihad, atau penafsiran independen terhadap teks-teks agama, untuk menghadapi tantangan modern. Meski hanya bertahan kurang dari setahun, majalah ini meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah pers Arab, sebelum akhirnya berhenti karena kesibukan Syaikh Ahmad dalam dunia pendidikan dan dakwah.

Masih di kota Surabaya, Oemar bin Ali Makarim meluncurkan surat kabar mingguan Al-Qastas pada 3 Februari 1923. Namun, seperti banyak surat kabar lainnya, Al-Qastas juga tidak bertahan lama. Tantangan finansial dan logistik sering kali menjadi hambatan utama bagi keberlanjutan media pada masa itu.

Surat Kabar dan Majalah Lainnya

S.A. Al-Idroes juga mendirikan dan menerbitkan Hadhramaut yang diterbitkan di kota Surabaya pada 16 Desember 1923. Hadhramaut menjadi salah satu suara terkemuka selama sepuluh tahun, hingga akhirnya berhenti pada akhir tahun 1933 karena kesulitan keuangan. Kendala ini mencerminkan realitas yang dihadapi banyak penerbit pada masa itu.

Di Bogor, Muhammad Saed Fatah al-Hijazi, sahabat seperjuangan Syaikh Ahmad Surkati, mencoba peruntungannya dengan menerbitkan Al-Wefaq pada 1 November 1923. Sayangnya, surat kabar ini juga tidak bertahan lama setelah terjadi penyerangan terhadap pemiliknya. Peristiwa ini menunjukkan betapa berbahayanya dunia pers pada masa itu.

Pada tahun 1933, Syekh Abdul Aziz Ar-Rasyid menerbitkan majalah bulanan Attauhid yang dirintisnya bersama Syekh Ahmad Surkati di Jakarta, sampai kemudian kantor redaksi majalah ini pindah ke Pekojan, Bogor, pada 16 Agustus 1933. Sejak saat itulah beliau memimpin langsung majalah Attauhid yang ditekuninya sebagai sarana dan alat dakwah. Majalah yang dicetak oleh percetakan Buitenzorgsche Drukkerij ini disebarluaskannya ke seluruh pelosok tanah air hingga ke luar negeri seperti Baghdad (Irak), Mekkah, Mesir, Singapura, dan Kuwait, negara asalnya.

Di kota Bogor ini pula Syekh Abdul Aziz kemudian menerbitkan majalah Al-Iraqi Al-Quwaiti pada 1931 yang dikelolanya bersama Syekh Yunus Al-Bahry. Penerbitan majalah ini merupakan kelanjutan dari majalah yang pernah ia terbitkan di negara asalnya di era 1920-an. Selain sebagai editor pada majalah Attauhid dan Al-Iraqi Al-Quwaiti yang dikelolanya, Syekh Abdul Aziz Ar-Rasyid juga aktif menulis artikel dan mengisi rubrik di majalah Al-Huda yang terbit di Singapura. Tulisan-tulisannya secara berkala juga banyak dimuat di beberapa surat kabar di Baghdad, serta majalah Al-Hilal, As-Syouro, dan Al-Fatih di Mesir.

Oemar Hoebeis di Surabaya kembali menerbitkan Al-Ahqaf pada tahun 1925. Namun, seperti beberapa surat kabar lainnya, Al-Ahqaf juga tidak mampu bertahan lama. Pada bulan Juni 1928, Al-Dahna muncul sebagai majalah bulanan di Surabaya, tetapi hanya bertahan dua atau tiga tahun. Keadaan serupa dialami oleh Al-Misbah, yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh Al-Irsyad yang menyuarakan dakwah reformis dan modern di kota Surabaya pada Desember 1928.

Al-Rabithah, majalah bulanan yang terbit di Jakarta pada Januari 1929, bertahan selama empat tahun di bawah kepemimpinan Hashim bin Muhammad Al-Habsyi.

Di kota Solo, Muhammad bin Aqeel menerbitkan surat kabar mingguan Barhout pada Januari 1930. Surat kabar ini ditulis dalam dialek sehari-hari Hadhrami, memberikan sentuhan yang unik dan dekat dengan kehidupan sehari-hari pembacanya. Ali Harhara di Surabaya menerbitkan Al-Islah pada 22 September 1930, namun seperti banyak surat kabar lainnya, Al-Islah juga tidak bertahan lama. Al-Irshad sebagai majalah bulanan terbit di Surabaya pada 2 Agustus 1937 di bawah kepemimpinan Muhammad Abboud Al-Amoudi, berlanjut selama dua tahun hingga berhenti pada tahun 1939.

Jejak yang Tak Terhapuskan

Selain surat kabar dan majalah yang disebutkan di atas, ada juga beberapa media lain yang muncul dan menghilang, seperti Al-Haq, Al-Misqatt, Al-Mustaqbal, majalah “Hari Ini”, Al-Ma’arif, Al-Turjuman, Cermin Muhammadiyah, Cermin Timur, dan Perdamaian. Dari nama-nama pendiri dan redaksi surat kabar tersebut, terlihat jelas bahwa sebagian besar adalah surat kabar Arab Hadrami, kecuali dua atau tiga surat kabar saja yang dikelola oleh jurnalis Muslim.

Perjalanan pers Arab di Indonesia pada periode 1917-1943 bukanlah tanpa tantangan. Dari kesulitan keuangan hingga ancaman fisik, para penerbit dan jurnalis harus berjuang keras untuk menyuarakan pandangan mereka. Namun, semangat dan dedikasi mereka berhasil meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah pers di Indonesia. Media yang mereka dirikan menjadi saksi bisu dari dari perjuangan dan kontribusi komunitas Arab di tanah air, memberikan warisan berharga yang patut kita hargai dan kenang.

Perjalanan ini adalah bukti bahwa di balik setiap lembaran surat kabar dan majalah, terdapat cerita-cerita penuh perjuangan, semangat, dan cinta terhadap pengetahuan serta kebebasan berpendapat. Kisah pers Arab di Indonesia adalah bagian penting dari mozaik sejarah kita, mengingatkan kita pada pentingnya keberagaman suara dan keberanian untuk menyuarakannya.*

Abdullah Abubakar Batarfie

Penulis: No Perfect

MENGAPA KEJAHATAN selalu bisa kompak BERSATU? Karena, KEBENARAN tidak pernah membutuhkan SEKUTU!”

Tinggalkan komentar