Mempelajari Sayid Qutb, Membuka Banyak Misteri

ALHAMDULILLAH setelah kuliah di IPB saya mengambil master di Universitas Indonesia. Saya adalah angkatan pertama untuk jurusan Kajian Timur Tengah dan Islam di UI. Sebenarnya mengambil master itu bukan tujuan saya. Saat itu tujuan saya mengambil S2 adalah untuk memperbaiki nilai saya yang jeblok di IPB. Bagaimana tidak jeblok? Ketika saya S1 itu saya jarang kuliah. Lebih banyak ngajinya daripada kuliahnya.

Ngaji lebih menarik daripada kuliah. Waktu itu saya langsung ngaji kepada ustadz-ustadz yang banyak lulusan Timur Tengah. Di IPB itu saya juga mengaji langsung pada Ustadz Abdurrahman al Baghdadi (guru yang membawa pemikiran Hizbut Tahrir dari Timur Tengah dan kemudian dikeluarkan dari HT).

Semangat mengaji itu membawa ke semangat dakwah. Semangat dakwah mendorong untuk semangat menulis. Maka setelah lulus dari IPB, saya menjadi wartawan majalah Media Dakwah (1996), majalah resmi milik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Kemudian menjadi wartawan tabloid Abadi, Hidayatullah, berpolitik.com, wartapilihan.com, suaraislam.id dan lain-lain.

Ketika menjadi wartawan yang ngepos di Gedung DPR/MPR, tiba-tiba teman-teman wartawan ‘ribut’, di UI membuka jurusan baru, magister sains untuk jurusan Kajian Timur Tengah dan Islam. Saya pun tertarik untuk daftar. Sekalian untuk memperbaiki nilai saya yang jelek ketika S1, kata saya dalam hati.

Maka saya pun mendaftar di UI dan alhamdulillah diterima. Alhamdulillah pengajarnya saat itu juga cukup kompeten. Ada Prof Alwi Shihab, Prof Yahya Muhaimin, Dr Haidar Bagir, Dr Riza Sihbudi, Dr Muhammad Lutfi Zuhdi, Dr Bachtiar Efendi dan lain-lain.

Di UI inilah wawasan saya tentang politik Islam terbuka. Baik politik dalam negeri maupun luar negeri. Tentang Amerika, Israel, Konflik Sunni Syiah, kondisi sosial politik Timur Tengah dan lain-lain. Meskipun kadang pendapat saya berbeda dengan para dosen itu, tapi saya jadi memahami jalan pemikiran dosen itu.

Suatu ketika, ketika pak Alwi Shihab memberikan kuliah, ia mengecam Taliban (sekitar 2001). Ia mengecam tindakan Taliban yang menghancurkan patung-patung di Afghanistan. Ia menganggap Taliban tidak menghargai budaya. Saya kemudian mengacungkan tangan dan memberikan pendapat. Saya katakan bahwa saya membaca sebuah artikel Taliban menghancurkan patung-patung itu karena pemerintah/LSM Barat lebih menghargai patung daripada membantu ribuan rakyat Afghanistan yang miskin. Pak Alwi agak marah ke saya, dan saya pun terdiam.

Di UI inilah saya mengenal cukup mendalam pergerakan Ikhwanul Muslimin, Saya membeli buku-buku Ikhwan dan membacanya. Saya pun membuat makalah tentang Ikhwan dan akhirnya menulis tesis tentang tokoh Ikhwan setelah Hasan al Bana, yaitu Sayid Qutb. Tesis ini akhirnya diterbitkan penerbit Gema Insani dengan judul “Sayid Qutb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya.”

Sayid Qutb dikagumi ulama-ulama Islam terkemuka. Seperti: Dr Shalah Abuul Fattah al Khalidi (Pakar Sejarah Islam dan Sejarah Al Quran) dan Dr Abdullah Azzam (guru para mujahidin Afghanistan). Dua ulama besar ini menulis buku biografi Sayid Qutb. Tapi Sayid Qutb tidak disukai oleh beberapa ‘ulama Islam’, diantaranya ulama salafi wahabi dan beberapa ulama al Azhar, diantaranya Syekh Ali Jum’ah.

Bila kita menelaah buku-buku Sayid Qutb kita akan dibuat kagum kepadanya. Karya bukunya lebih dari 25 buku. Karya-karya mendunia, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Inggris, Prancis dan lain-lain. Bahkan ada seorang ilmuwan Barat menyatakan bahwa karya Qutb itu mengilhami revolusi Iran 1979. Syekh Yusuf Qaradhawi menyatakan bahwa ketika ia muda, ia sangat gembira bila diterbitkan buku Sayid Qutb. Di antara buku yang ia kagumi adalah Keadilan Sosial dalam Islam (Al Adalah al Ijtimaiyyah fil Islam).

Buku-buku Sayid Qutb yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia antara lain: Tafsir fi Zhilaliil Qur’an, Beberapa Studi tentang Islam, Seni yang Indah dalam Al-Qur’an, Islam dan Perdamaian Dunia, Petunjuk Jalan dan lain-lain.

Mempelajari Sayid Qutb ini memuat saya memahami mengapa pemerintah Mesir dan beberapa ulama al Azhar membenci Sayid Qutb. Kita ketahui bahwa pemerintah Mesir yang zalim saat ini melarang peredaran buku-buku yang ditulis ulama-ulama Ikhwanul Muslimin. Begitu juga pemerintah yang zalim Arab Saudi melarang peredaran buku-buku Ikhwan (termasuk buku Sayid Qutb).

Pelarangan buku-buku Ikhwan ini didukung ulama penganut ‘Salafi Wahabi’. Yang jarang diketahui publik, Arab Saudi di masa Raja Faisal, justru berangkulan dengan ulama-ulama Ikhwan. Saat itu ulama-ulama Ikhwan di Mesir yang ditekan oleh presiden zalim Gamal Abdul Nasser, banyak yang melarikan diri ke Arab Saudi.

Mempelajari Sayid Qutb juga membuka misteri bagaimana para intelektual Barat merendahkan ulama-ulama Islam dan memuji pemimpin yang sekuler (dan zalim). Para orientalis banyak memuji Gamal Abdul Nasser dan menghina Sayid Qutb. Mereka menyatakan Sayid Qutb (dan Hasan al Bana), radikal, fundamentalis dan lain-lain. Bahkan Sayid Quttb dikatakan, The Founder of Terrorism. Kalau ada ulama kita yang ikut-ikutan mengecam Qutb, saya hanya mengelus dada dan mencoba membela sebisanya.

Alhamdulillah saya mengenal Sayid Qutb dan membaca karya-karyanya. Qutb, bukan hanya ulama yang duduk di belakang meja. Ia ulama yang menulis, ceramah, berinteraksi dengan masyarakat dan berupaya memecahkan masalahnya. Ia ulama yang mempersembahkan jiwa dan raganya untuk Islam (dihukum mati Presiden Gamal Abdul Nasser).

Ulama besar ini memahami kelemahan Barat dan kelebihan Islam (sekitar dua tahun belajar di Amerika). Orang-orang yang mengecam Sayid Qutb, saya perhatikan jarang yang membaca karyanya. Mereka lebih banyak membaca kata orang tentang Sayid Qutb dan tidak langsung membaca karyanya. Wallahu alimun hakim. []

Nuim Hidayat, _Penulis buku “Sayid Qutb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya.”

Penulis: No Perfect

MENGAPA KEJAHATAN selalu bisa kompak BERSATU? Karena, KEBENARAN tidak pernah membutuhkan SEKUTU!”

Tinggalkan komentar