“Negeri Bego”… Tere Liye kalo bikin satir kok bisa ngena banget ya 😂😂

Novelis Tere Liye tidak setuju dengan UKT mahasiswa yang dibedakan berdasarkan penghasilan orang tuanya. Sistem kapitalis ini hanya bertujuan untuk mengeruk cuan. Karena pendidikan itu hak semua warga. Itu amanat pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang kaya dan yang miskin, semua berhak.

Di akun facebooknya, Tere Liye menuliskan beberapa kritiknya terkait UKT.

Salah satu tulisannya berjudul “Negeri Bego”.


NEGERI BEGO

Suatu hari Agus pergi wisata ke negeri bego.

Tiba dia di sana, mendarat dong. Pas masuk ke loket imigrasi, dia termangu.

‘Tiket Bisnis/First Class’, ‘Tiket Ekonomi’, ‘Tiket Rakyat Jelatah’, ternyata loketnya dibagi-bagi begitu.

Kok bisa layanan imigrasi dibedakan dari strata sosial seseorang? Bukankah ini seharusnya egaliter? Hanya awak pesawat dan diplomat yg dibedakan jalurnya? Benak Agus. Tapi baiklah, dia malas mikir lama-lama. Dia antri sesuai tiketnya. Cop! Cop! Beres.

Keluar dari bandara, dia mau naik taksi. Klik klik klik. Agus lagi-lagi termangu. Ternyata di aplikasi negara bego, juga pilihan taksi onlinenya sudah dibagi. ‘Kamu penghasilan orang tuanya berapa?’ tanya aplikasi. Loh, saya ini sdh tidak punya orang tua, jawab Agus. ‘Baiklah, kamu penghasilannya berapa?’ Canggih banget itu aplikasi, bisa ngobrol. Agus mengalah, baiklah, memasukkan penghasilannya. Maka, tarif taksi keluar deah. Astaga? Agus mengusap kening. Ternyata naik taksi pun juga dibedakan berdasar penghasilan.

Bodo amat, benak Agus, yg penting dia bisa ke tujuan wisatanya.

Taksi berangkat deh. 1 jam, Agus lapar. Tiba di tujuan, dia ke restoran dulu. Sampai di sana, staf resto menyambut dgn tersenyum.

“Bapak, penghasilan orang tua nya berapa?”

Heh, Agus melotot, saya mau makan, apa urusannya dgn penghasilan orang tua saya?

“Ini sistem yang adil, Bapak. Jadi harga makanan kami sesuai dgn kemampuan orang tuanya.”

Agus menghela napas, “Saya yatim piatu, orang tua sy sdh mati, saya miskin, tidak ada pekerjaan.” Agus mengarang-ngarang karena kesal, siapa tahu jadi murah.

“Baik, apakah Bapak bawa surat keterangan miskin dari kepala desa? Foto rumahnya? Bukti bayar PLN? PBB? Sama satu lagi deh pak, surat pernyataan di atas materai.”

Aaargh! Teriak Agus dalam hati. Dia cuma mau makan siang, kenapa kemana-mana?

Agus nyerah, dia akhirnya bilang penghasilannya.

Staf restoran tersenyum, “Baik, Bapak kena UKT Rp 500.000.”

UKT apa? Agus bertanya

“Uang Konsumsi Tunggal, Bapak.”

Agus nyerah, terserah, gue sudah lapar. Terserah kalian sajalah.

Maka, dia duduk di restoran itu, makan. Selesai, Bayar.

Agus melanjutkan perjalanan, dia mulai jalan-jalan melihat pemandangan kota dong. Sesekali dia berhenti menatap toko-toko kelontong, juga toko baju. Ah, ada yang menarik, ada jualan koleksi kaset/vynil lama. Maka Agus masuk. Lihat-lihat, dia naksir sebuah kaset band legend, dia ambil, dia bawa ke kasir.

“Bapak, penghasilan orang tuanya berapa?” Tanya kasir.

Sekian, sekian, sekian. Agus sudah nyerah, dia langsung jawab saja, biar cepat.

Kasir tersenyum manis, “Baik, Bapak kena UKT Rp 1 juta deh.”

Uang Konsumsi Tunggal? Tanya Agus.

“Bukan, Bapak. Uang Kaset Tunggal.” Senyum Kasir.

Astaga. Agus menelan ludah. Kenapa sih beli kaset lama saja harus ditanya penghasilan orang tua? Penghasilan dirinya?

“Oh, itu agar kami bisa terus meningkatkan pelayanan toko, Bapak. Dengan konsumen membayar sesuai penghasilan orang tuanya, maka fasilitas akan maksimal.”

Duh, ini negara kok bego banget. Gumam Agus. Tapi terserahlah, dia memasukkan kaset lama itu ke dalam tas.

Dan dia pun melanjutkan jalan-jalan. Menatap pemandangan kota. Terus melangkah. Hingga 1 jam kemudian, dia kebelet dong. Toileeet! Agus mencari-cari. Akhirnya nemu, dia siap masuk.

“Sebentar, Bapak, penghasilan orang tuanya berapa?” Penjaga toilet bertanya.

Arrrgh! Gue ini sudah hampir keciprit, bego! Bentak Agus, ngapain ditanya penghasilan orang tuanya.

Sekian, sekian, sekian, jawab Agus kesal. Dia lompat mau masuk toilet.

“Sebentar, Bapak.” Penjaga toilet tersenyum ramah, menahan Agus, “Kami klarifikasi dulu datanya ya, biar cocok dengan aktual di lapangan.”

Arrrgh! Agus berteriak kesal. Ini beol gue sudah mau keluar.

“Tidak bisa, Bapak. Kami harus proses verifikasi dulu ya. Ini agar adil, fair. Jadi masyarakat membayar toilet sesuai kemampuan finansialnya. Kami harus mengunjungi rumah Bapak, bertanya ke tetangga–“

Broot! Brooot! Akhirnya Agus pupup di celana.

Inilah kisah negeri bego.

Saking begonya, orang-orang tidak menyadari betapa kacaunya logika ini. Bahwa produk, layanan, dijual dengan bertanya, ‘berapa penghasilan orang tuamu?’

(Tere Liye)

Penulis: No Perfect

MENGAPA KEJAHATAN selalu bisa kompak BERSATU? Karena, KEBENARAN tidak pernah membutuhkan SEKUTU!”

Tinggalkan komentar